Latest News

Sunday, May 5, 2019

15-Kota Allah: Sebuah Interpretasi Teologis dan Filosofis terhadap Sejarah


PENDAHULUAN
Salah satu keunikan kekristenan terletak pada kesadarannya tentang sejarah. Sejarah hidup manusia dilihat sebagai perjalanan di dalam ruang dan waktu dan juga dimengerti sebagai lintasan peristiwa- peristiwa yang memiliki awal dan akhir. Kesadaran semacam ini menjadikan kekristenan mampu eksis dan hidup secara dinamis, terus bergerak maju menuju tujuan akhirnya. Ironisnya, pada masa kini nampak banyak gereja yang tidak mengerti apalagi menekankan kesadaran sejarah yang demikian, sehingga sering terdengar banyak gereja yang menjadi pasif, tidak memiliki visi dan misi yang jelas, tidak bertumbuh secara maksimal, tidak berpengharapan dan tidak sedikit yang menjadi apatis terhadap masalah-masalah dunia yang ada di sekitarnya.
Tulisan ini berusaha menggugah kembali kesadaran gereja Tuhan terhadap sejarah melalui interpretasi, baik secara teologis maupun filosofis, yang dilakukan oleh Agustinus, salah satu teolog klasik terbesar pada abad keempat, dalam karyanya Kota Allah (The City of God). Karyanya ini telah menjadi pengajaran standar gereja Kristen selama berabad- abad mengenai sejarah yang dilihat dari perspektif iman Kristen. Melalui usaha menggugah kesadaran sejarah ini diharapkan gereja dapat lebih memahami keberadaan, tugas dan tanggung jawabnya dalam sejarah, serta lebih serius mengisi ruang dan waktu yang melintas ini dengan kegiatan dan peristiwa pembangunan kerajaan Allah secara progresif dan konstruktif.
KOTA ALLAH: SEBUAH MAHAKARYA SASTRA AGUSTINUS
Satu dari beberapa tulisan terkenal Agustinus adalah De Civitate Dei (The City of God) atau Kota Allah. Karyanya ini juga terkenal sebagai mahakarya di antara para jenius besar Bapa-bapa Gereja Latin (The Latin Fathers), sekaligus menjadi karya sastra yang paling terkenal dan paling banyak dibaca di antara karya-karya Agustinus lainnya di samping Pengakuan-pengakuan (The Confessions).[1] Bukan itu saja, karyanya ini telah memberikan pengertian dan inspirasi bagi banyak teolog, sejarawan dan orang Kristen tentang sejarah dan politik dalam perspektif Kristen selama berabad-abad.
Isi Kota Allah terbagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama (IX) adalah bagian yang menceritakan jatuhnya kota Roma sebagai suatu bencana (I-III) dan pemaparan konsep-konsep serta diskusi-diskusi tentang ilah-ilah orang kafir (IV-X). Bagian kedua (XI-XXIII) menjelaskan tentang asal-usul, perkembangan dan tujuan duniawi dan sorgawi kota-kota yang ada di dunia.
Agustinus menulis buku ini sebagai refleksi atas kejatuhan kota Roma pada tahun 410 M, yang sungguh-sungguh mengguncangkan dunia Mediterania.[2] Sebelum kejatuhan kota ini, bangsa-bangsa Barbar di bawah komando Alaric dan pasukan orang-orang Visigoth mulai menyerang daerah-daerah kekuasaan kerajaan Roma. Ketika kerajaan Roma menjadi lemah karena serangan-serangan ini, orang-orang Roma yang beragama kafir mulai mempersalahkan kekristenan sebagai penyebab malapetaka itu. Mereka percaya bahwa dewa-dewa mereka sedang mengutuk orang-orang Roma karena pengaruh kekristenan yang sangat kuat di kota itu. Agustinus memberikan sanggahan terhadap tuduhan itu dengan menuliskan Kota Allah.[3]
Dalam Kota Allah, Agustinus merefleksikan kejatuhan kota Roma yang kemudian menjadi bahan pemahamannya, mungkin lebih tepat penafsirannya, terhadap sejarah dunia secara universal. Penafsirannya dibuat dengan jalan menelusuri sejarah melalui dua pendekatan: pendekatan teologis dan filosofis. Jadi, tepatlah jika Kota Allah disebut sebagai mahakarya Agustinus, karena karyanya ini bukan saja merupakan karya teologi sejarah pertama, tetapi juga merupakan filsafat sejarah pertama yang sangat mengagumkan sekaligus merupakan filsafat politik yang telah berhasil mempengaruhi Eropa selama berabad-abad.[4]
INTERPRETASI TEOLOGIS TERHADAP SEJARAH
Setelah mengambil keputusan untuk menjadi orang Kristen, Agustinus menjadi orang yang sangat mencintai firman Allah. Dia percaya bahwa gereja seharusnya menjadi tempat di mana pesta Kitab Suci "sudah selalu tersedia."[5] Karena itu ketika memahami sejarah dan peristiwa- peristiwa yang ada di dalamnya, ia tidak pernah menggunakan pengertiannya sendiri, tetapi ia menggunakan dan kemudian mendasari tulisannya dengan perspektif Alkitabiah dan teologis yang kuat. Pemahaman yang demikian menghasilkan konsep-konsep sejarah dunia yang bermakna teologis. J. V. L. Casserley menekankan bahwa dalam karyanya ini, Agustinus mencoba menyediakan analisa Alkitabiah dan teologis tentang sejarah dunia.[6]
Dari hasil pemikiran tentang sejarah, didapati bahwa sejarah merupakan misteri Allah. Di satu sisi, Allah adalah Allah yang tidak terselami dan tidak terjangkau oleh pikiran dan pengetahuan manusia. Tidak terselami jalan dan pikiran-Nya. Ia tidak di dalam waktu melainkan pencipta waktu.[7] Di sisi yang lain, manusia memiliki keterbatasan untuk memahami secara keseluruhan ruang dan waktu yang diciptakan Allah ini, termasuk peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya. Hal ini menyebabkan manusia tidak mampu memahami sejarah dengan sejelas- jelasnya. Tidak ada seorang pun yang dapat menyingkapkan sejarah, karena sejarah dunia merupakan suatu misteri yang mengherankan. Allah hanya menyingkapkan "sebagian" dari sejarah ini di dalam Alkitab, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat menelusuri sejarah tanpa bimbingan ilahi dari kitab suci dan tanpa Allah yang bekerja di dalam sejarah.[8]
Sebagian dari sejarah ini dijelaskannya dalam bagian akhir Kota Allah (XI-XXIII). Dalam bagian ini Agustinus mencoba menelusuri sejarah dunia melalui sejarah suci dalam Alkitab. Pada mulanya Allah menciptakan dunia ini. Ia menciptakan ruang dan waktu sebagai elemen- elemen dasar dari sejarah. Penciptaan sejarah yang demikian berimplikasi bahwa waktu memiliki awal atau permulaan. Prinsip ini dinyatakan sebagai argumentasi terhadap pandangan yang keliru, yang muncul pada masa itu, bahwa waktu tidak memiliki permulaan (XI:4). Pemahaman waktu harus selalu ada pada kerangka "pada awalnya." Hal ini berarti bahwa dunia tidak berada di dalam waktu melainkan secara simultan berada bersama-sama dengan waktu, sesudahnya berarti masa lalu dan sebelumnya berarti masa depan (XI:6).
Pengaruh dosa di dalam ruang dan waktu sangat fatal. Dosa telah memisahkan dua kota, kota manusia dan kota Allah.[9] Kejatuhan malaikat menjadi awal atau permulaan terbaginya kedua kota ini. Tragisnya, pola kejatuhan ini terulang lagi dalam kejatuhan manusia pertama. Kedua kejatuhan ini adalah kejatuhan bukan karena keadaan alamiah mereka tetapi karena keinginan (XIII:3). Agustinus menjelaskan bahwa kota manusia telah dibangun oleh Kain pada awal sejarah ras manusia dan ini berkembang sampai ke masa kerajaan Romawi. Sementara itu, pada sisi yang lain, Habel telah membangun kota Allah, yang kemudian diteruskan kepada Abraham dan keturunannya. Ditekankan juga bahwa orang-orang yang hidup di kota Allah telah dipredestinasikan oleh anugerah untuk berada di tempat itu (XV-XVIII).
Kota manusia dan kota Allah memiliki bentuk dan karakteristiknya sendiri-sendiri. Bentuk dan karakter ini berakar pada kondisi manusia sejak awalnya, manusia yang berdosa dan manusia yang walaupun berdosa tetapi telah memperoleh anugerah pengampunan dari Allah. Kondisi inilah yang telah membedakan keduanya. Kota manusia bercirikan kehidupan yang sangat mengasihi dan memuliakan diri sendiri, sedangkan kota Allah, di sisi lain, bercirikan hidup yang mengasihi dan memuliakan Allah.[10] Kedua perbedaan ini terus ada dan berkembang dalam lintasan sejarah, dan semua perbedaan yang berkembang ini akan menjadi sangat jelas pada akhir zaman.
Pada Abad Pertengahan muncul masalah mengenai hubungan antara kota Allah dan gereja; apakah persamaan antara kota Allah dan gereja, apakah keduanya mengacu kepada Kerajaan Roma dan Gereja Roma Katolik atau lembaga-lembaga dunia? Menurut tradisi kelompok Agustinian, yang menggunakan metode eksegesis yang khas Abad Pertengahan terhadap Kitab Wahyu, gereja secara eksplisit identik dengan kota Allah.[11] Pendapat ini agak bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh J. W. Montgomery bahwa kedua kota tidak pernah identik dengan lembaga-lembaga dunia.[12] Jika pendapat pertama disetujui, ini berarti bahwa lembaga- lembaga ini akan membatasi cakupan kota Allah. E. A. Cairns berkata bahwa cakupan kota Allah seharusnya lebih luas dari pada hanya sebatas lembaga-lembaga.[13] Jika dipikirkan secara lebih dalam, seharusnya ada cara yang tepat untuk mengatasi polemik ini. Pada dasarnya, gereja harus didasari atas kasih, sehingga kasih dapat diaktualisasikan. Jika kasih ada di dalam gereja, argumen-argumen ini tidak sah, karena dengan kasih gereja akan dikenal sebagai kota Allah dan meskipun gereja adalah institusi dunia, dengan kasih gereja akan berarti lain. P. Tillich memberikan jalan keluar dengan menempatkan Kristus di tengah masalah dengan mengatakan bahwa gereja dapat menjadi kota Allah jika Kristus, dengan kasih-Nya, memerintah gereja.[14]
Karena itu dapatlah dikatakan bahwa pendekatan teologis Agustinus terhadap sejarah dimulai dari atas;[15] Allah telah menciptakan dan memulai sejarah dunia ini. Dalam perjalanannya, sejarah dunia telah terbagi menjadi dua, sejarah sekuler dan sejarah sakral. Walaupun demikian, Allah di dalam Kristus tetap bekerja dan berkuasa di dalam kedua sejarah itu. Ia berkuasa atas kota surgawi dan datang ke kota duniawi untuk menyelamatkan orang-orang berdosa. Karena itu, orang berdosa dapat masuk dan hidup di dalam kota Allah. Jadi, kedua sejarah itu berada dalam kekuasaan ilahi. Gereja, sebagai alat di tangan Tuhan untuk membawa manusia menjadi warga kota Allah, adalah "bayangan" dari kota surgawi di dalam sejarah dunia, selama ia memanifestasikan kasih Allah.[16]
INTERPRETASI FILOSOFIS TERHADAP SEJARAH
Dalam hal tertentu, filsafat dan sejarah agak bertentangan. Di tangan para filsuf sebuah fakta dicari universalitasnya sementara di tangan sejarawan sebuah fakta dicari partikularitasnya. Tetapi di tangan Agustinus, keduanya tidak dipertentangkan, sebab baik pendekatan filsafat maupun pendekatan sejarah, keduanya dapat diintegrasikan dalam satu kesatuan. Melalui integrasi keduanya, kerangka yang komplit tentang filsafat "sejarah universal" dapat disusun.[17] Kemampuan menyusun filsafat sejarah seperti ini sedikit banyak berasal dari latar belakang pendidikannya. Sebelum menjadi Kristen ia adalah seorang filsuf Platonik yang sangat berminat pada sejarah. Di samping itu, ia juga telah mempelajari sejarah di sekolah yang juga menamatkan sejarawan Theopompus dan Ephorus.[18]
Selain mampu mengintegrasikan filsafat dan sejarah, Agustinus juga mampu mengintegrasikan pemikiran-pemikiran filosofis dan pemikiran- pemikiran teologisnya.[19] Sejarah universal yang dikemukakan Agustinus adalah sebuah produk yang dihasilkan lewat formulasi konsep- konsep teologis dan filosofis berdasarkan ajaran Alkitab. Dalam Alkitab, ditemukan bahwa garis sejarah dunia sedang terus bergerak. Garis ini ditelusurinya mulai dari penciptaan dunia sampai ke masa di mana Agustinus hidup. Ditemukan juga bahwa sepanjang lintasan itu, Allah terus mengontrol jalannya sejarah dunia ini. Allah sedang berkarya di dalam sejarah, dan bukan hanya itu, fakta membuktikan bahwa sejarah universal dunia ini akan berakhir di satu titik klimaks. Karena pemahamannya yang universal terhadap sejarah ini, Agustinus mampu, sekaligus menjadi orang yang pertama kali, menelusuri secara bersama-sama sejarah bangsa-bangsa seperti Israel, Babel, Yunani dan Roma.[20]
Kota Allah adalah karya filsafat yang positif dan komprehensif tentang sejarah, suatu interpretasi terhadap drama hidup manusia.[21] Pandangan sejarah sebagai sebuah "drama" di sini dimengerti sebagai sesuatu yang berawal dan berakhir. Konsep yang demikian sangat berbeda dengan pandangan Yunani atau ide klasik. Menurut pandangan ini, waktu atau sejarah dipahami sebagai suatu rentetan siklus yang berulang- ulang berputar dengan sendirinya di dalam dunia ini. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa sejarah terbagi dua, yakni sejarah sakral dan sejarah sekuler. Sejarah sekuler berjalan berputar-putar, tetapi sejarah sakral berjalan maju searah.[22] Dengan kata lain, waktu yang ada di dalam sejarah sekuler bergerak secara sirkular, sementara waktu dalam sejarah sakral bergerak secara linear. Pendapat ini didasari atas pemahaman tentang sejarah dari perspektif Alkitab yang kuat, yaitu waktu memiliki awal dan sedang bergerak menuju akhir. Hubungan antara keduanya sangat unik sebab sementara sejarah sekuler berputar terus, sejarah sekuler ini menjadi ruang bagi sejarah sakral untuk bergerak ke depan. Sejarah sekuler menjadi milik waktu dan tidak dapat menghindar atau bangkit dari batasan-batasan kesementaraannya.[23]
Menurut Agustinus waktu sama sekali berbeda dengan kekekalan. Untuk membedakan waktu dan kekekalan, Agustinus menjelaskan bahwa tidak mungkin sesuatu eksis tanpa pergerakan dan transisi (XI:6). Jika penafsiran pernyataannya ini benar, bahwa "pergerakan dan transisi" ini dimengerti sebagai peristiwa-peristiwa sejarah, maka sejarah hanya ada di dalam dunia atau di dalam ruang dan waktu. Sejarah dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan kekekalan tidak dapat dipengaruhi oleh pergerakan atau perubahan. Kekekalan selalu berada di luar pengaruh ruang dan waktu.
Dalam Kota Allah, sejarah dipandang sebagai sebuah cerita tentang dua kota, kota duniawi dan surgawi.[24] Konsep-konsep seperti kejahatan dan kebaikan, duniawi dan surgawi, sementara dan kekal (IX) yang ada di sepanjang cerita itu sering dicurigai sebagai pengaruh dari filsafat dan pemikiran yang bersifat Platonistik, khususnya dualisme Platonik. Namun demikian, meskipun Agustinus sangat memahami dualisme Platonik, ia tidak mendasari konsepnya pada dualisme yang nyata, sebagaimana Plato mengajarkannya. Ini dibuktikan ketika ia mendasari filsafat sejarahnya--sebagaimana umumnya filsafat sejarah--pada dualisme sejarah bukan pada dualisme secara ontologis.[25]
Walaupun Agustinus telah mempelajari filsafat Plato secara mendalam dan pernah menjadi seorang Neo-Platonik sebelum menjadi seorang Kristen, namun idenya tentang sejarah masih tetap banyak dan sangat dipengaruhi oleh pandangan Alkitabiah. Dalam pemikiran tentang filsafat sejarah ini, ia tetap memakai pandangan yang terbaik dari zaman klasik untuk memahami sejarah dalam terang Injil Yesus Kristus. Meskipun ia sering dikritik karena alasan mengkorupsikan iman Alkitabiah dengan cara menggabungkan unsur-unsur asing dalam pikiran- pikirannya, tetapi sebenarnya ia sedang berusaha untuk membuat kekristenan relevan bagi kehidupan intelektual pada masanya.[26]
KLIMAKS SEJARAH
Dalam bagian akhir Kota Allah (XX-XXIII), Agustinus menjelaskan keadaan akhir sejarah dunia ini. Sebelum menjelaskan bagian ini, ia telah membagi sejarah dunia menjadi tiga era: pertama, masa sebelum hukum (masa anak-anak); kedua, masa di bawah hukum (dewasa); dan ketiga, masa anugerah atau sesudah hukum (masa tua).[27] Pembagian ini menjelaskan bagaimana sejarah berkembang dari waktu ke waktu. Ini juga berimplikasi bahwa waktu sedang dan akan bergerak menuju ke titik akhir. Sekarang ini gereja ada pada era ketiga, ketika anugerah telah datang di dalam Yesus Kristus. Setelah itu, ada waktu di mana segalanya akan berakhir. Kota manusia akan berakhir, tetapi kota Allah, di mana gereja sesungguhnya ada dan hidup di dalamnya, akan masuk ke dalam kekekalan.
Konsep "berakhirnya kota manusia atau kota duniawi (civitate terrena)" ini sangat bertentangan dengan mitos "Roma Aeterna," kekekalan kekaisaran Romawi, khususnya kota Roma.[28] Orang-orang Roma percaya kepada mitos bahwa kota Roma, yang dipimpin oleh seorang kaisar sebagai Dominus et Deus (Tuhan dan Allah), tidak akan dapat binasa. Kota Roma adalah kota yang kekal di mana dewa-dewa bersemayam di dalamnya dan memberi kejayaan baginya. Tetapi bagi Agustinus, kejatuhan kota Roma adalah bukti yang konkret bahwa pandangan atau mitos ini penuh dengan kesalahan. Kekekalan kekaisaran Roma adalah pandangan yang salah dan keliru, karena kota Roma adalah civitate terrena, dan dengan cukup keras disebut juga sebagai civitate diaboli, sebuah kota yang telah dikorupsikan oleh dosa asali, hawa nafsu, peperangan, haus kekuasaan dan telah terikat kuat oleh belenggu- belenggu Iblis (kejahatan).[29]
Sejarah universal akan mencapai klimaksnya di dalam Yesus Kristus. Ia adalah konsumasi seluruh sejarah manusia. Pada klimaksnya, sejarah dunia akan dikontrol dan dikuasai oleh Yesus Kristus sendiri, apakah itu kota duniawi atau kota surgawi. Perbedaan kedua kota ini akan terlihat jelas nantinya. Walaupun demikian, tidak terlalu mudah untuk melihat dan mengerti secara nyata, sebab fakta sering membuktikan bahwa "gereja" yang mengaku sebagai bagian dari kota surgawi tidak dapat memperlihatkan kontrol dan kuasa Kristus itu atas dirinya. Di akhir zaman, kedua kota akan terus hidup dan berada dalam karakteristik mereka masing-masing, dan karena keduanya ada dan hidup berdampingan, maka keduanya akan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Pada "hari terakhir" itu, ketika Yesus Kristus menyelesaikan segala pekerjaan-Nya, Ia akan membuat perbedaan antara kedua kota dengan jelas dalam hal karakter-karakter dan tujuan-tujuan mereka. P. Ricoeur mengatakan bahwa pada "hari terakhir" semua sejarah, kerajaan, peperangan, revolusi, penemuan, seni, moralitas dan filsafat, di dalam segala kebesaran dan kesalahan mereka akan bersama-sama direkapitulasikan dalam Kristus.[30] Pada akhir sejarah dunia ini, Allah di dalam Yesus Kristus juga akan menghakimi dan menghukum yang jahat, dan sebaliknya, Ia akan membangkitkan orang-orang suci dan memberikan kebahagiaan kekal kepada mereka (XX-XXII).
KESIMPULAN
Kejatuhan kekaisaran Roma yang besar dan agung membuat Agustinus berpikir tentang ketidakabadian dan di sisi lain pengharapan akan sesuatu yang lebih abadi atau kekal. Inilah yang menginspirasikan penulisan Kota Allah, sebagai sebuah interpretasi teologis dan filosofis terhadap sejarah. Sejarah dunia ada di dalam ruang dan waktu dan sejarah ini sedang bergerak secara simultan menuju ke satu titik akhir. Ia memiliki awal dan akhir. Sejak awal semua manusia hidup di dalam sejarah yang demikian, dan pada saat yang sama mereka juga hidup di kota-kota dalam kedua sejarah itu, entah itu di dalam kota surgawi dalam sejarah sakral atau di dalam kota duniawi dalam sejarah sekuler. Allah menciptakan dan mengontrol sejarah bersama unsur-unsurnya (waktu, ruang dan peristiwa-peristiwa). Allah berkuasa atas sejarah dan hidup manusia. Melalui Yesus Kristus, Ia bekerja untuk menyelamatkan orang berdosa dalam kota manusia dan membuat mereka menjadi warga negara kota Allah. Sejarah, sebagaimana ia bergerak secara linear, akan sampai pada klimaksnya di dalam Yesus Kristus. Pada saat konsumasi sejarah itu, perbedaan antara kedua kota menjadi jelas, kemudian Ia akan menghakimi yang jahat dan memberi kebahagiaan kepada orang-orang yang saleh.
Mengingat sejarah sangat bermakna secara teologis dan filosofis, maka gereja harus sadar tentang pentingnya memahami dan bagaimana hidup dalam sejarah itu. Ruang dan waktu adalah anugerah yang diciptakan dan diberikan Tuhan baginya di mana di dalamnya gereja ada, hidup dan berkarya. Karena waktu dan ruang bergerak terus ke depan menuju titik klimaksnya, gereja pada masa kini harus mengikuti pergerakan itu. Ia harus mengisi ruang dan waktu dengan aktivitas dan kualitas hidup yang sesuai dengan karakteristik Kota Allah, kota sorgawi. Aktivitas atau peristiwa ini dapat diwujudkan dengan cara bekerja keras, karena waktunya singkat dan gereja berpacu dengan waktu, untuk membangun dan memperluas kerajaan Allah di muka bumi ini dengan cara membawa sebanyak mungkin "warga-negara kota manusia" ke dalam kerajaan Allah, sehingga mereka dapat hidup dan terus hidup di dalam kekekalan kota surgawi. Di samping itu, gereja harus memiliki kualitas hidup yang didasari atas karakteristik warga negara kerajaan Allah. Gereja terpanggil untuk merealisasikan hidup yang penuh kasih, kekudusan dan kebajikan secara nyata di tengah dunia ini. Dengan cara hidup yang demikian Kota Allah akan dikenal dan diharapkan kehadirannya oleh dunia ini. Walaupun gereja hidup dan melayani di dunia yang tidak kekal, tetapi gereja masih perlu hidup dengan pengharapan yang pasti sambil mengerjakan hal-hal yang bernilai kekal, selama masih ada waktu dan ruang yang tersisa.
Catatan Kaki:
  1. Augustine, "St. Augustine's City of God and Christian Doctrine" dalam The Nicene and Post-Nicene Fathers of Christian Church (ed. Philip Schaff; Reprint ed.; Grand Rapids: Eerdmans, 1983) 2:9.
  2. Justo. L. Gonzalez, A History of Christian Thought (Nashville: Abingdon, 1971) 2:52.
  3. J. H. Rapar, Filsafat Politik Agustinus (Jakarta: Rajawali, 1989) 41-42.
  4. Ibid.
  5. F. Van Der Meer, Augustine of Hippo (New York: Harper and Row,1961) 343.
  6. Toward A Theology of History (New York, Chicago, San Francisco: Holt, Rinehart and Winston, 1965) 64.
  7. N. L. Geisler, "Augustine of Hippo," Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter E. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1984) 106.
  8. William B. Placher, A History of Christian Theology (Philadelphia: Westminster, 1983) 119.
  9. Agustinus juga menggunakan istilah lain, yang didasarinya atas analogi tradisionil untuk kedua kota ini, Yerusalem dan Babilonia. Lihat penjelasan W. H. C. Frend, "Augustinianism" dalam The Westminster Dictionary of Christian Theology (ed. Alan Richardson dan John Bowden; Grand Rapids: Westminster, 1983) 56- 57.
  10. Gonzalez, A History 52.
  11. Jaroslav Pelikan, The Growth of Medieval Theology (Chicago: University of Chicago Press, 1978) 3:42.
  12. The Shape of the Past (Minneapolis: Bethany, 1975) 20.
  13. "God and Man in Time (Grand Rapids: Baker, 1979) 137.
  14. A History of Christian Thought (New York: Simon and Schuster, 1967) 121.
  15. Cairns, God 136.
  16. Peter Brown, Augustine of Hippo (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1969) 323.
  17. John. H. S. Burleigh, The City of God (London: Nisbe and Co., 1949) 185.
  18. Ibid. 188. Theopompus dan Ephorus adalah sejarawan terkenal pada abad sebelum Augustinus.
  19. Rapar, Filsafat 43.
  20. Frend, "Augustinianism" 26.
  21. K. S. Latourette, A History of Christianity (San Francisco: Harper and Row, 1975) 1:176.
  22. Casserley, Toward 65.
  23. Ibid.
  24. Frend, "Augustinianism" 26.
  25. Tillich, A History 121.
  26. Montgomery, The Shape 46.
  27. Ibid. 47.
  28. Frend, "Augustinianism" 57.
  29. Meer, Augustine 163.
  30. History and Truth (Evanston: Nortwestern University Press, 1965) 94.
Artikel ini diambil dari : 
 Jurnal Teologi dan Pelayanan Veritas. Oleh Ferry Y. Mamahit

No comments:

Post a Comment